Sabtu, 27 April 2013

SENYUM ituu......


Senyum itu ringan tak bersuara
tapi penuh makna
Senyum itu murah
tapi tak ternilai dengan rupiah
Senyum itu tak bertenaga
tapi besar motivasinya
Senyum adalah hal yang mudah
tapi selalu nampak indah
Senyum hanya hal yang biasa
tapi bisa jadi luaaarrrr biaasaaa
Senyum bagian dari ibadah yang mudah
tetapi berpahala setara dengan sedekah

Janji pada Negeri

Sampan kecil telah mengantarkannya
pada sebuah pondok rapuh di seberang
memang tak separah laskar pelangi
mata pensil itu pun patah
tak sanggup menggoreskan tulisan lagi
buku itu telah kusam
terisi goresan pena kecil
milik seorang anak bangsa
namun semua hanya seketika
ketika biaya telah terkuras
ketika pemimpin tak memiliki hati mulia
ketika sang anak pedalaman tak dapat lagi melanjutkan asanya
sekolah ke jenjang yang tinggi
kemanakah biaya pendidikan itu?
kemanakah para pemimpin itu?
apakah mereka masih berduduk santai
dengan fasilitas mewah dari dana itu?
apakah mereka masih suka tidur
dari sidang soal rakyat?
kemanakah hati baik seorang dermawan
yang mau memberikan
sekeping hatinya buat pendidikan negeri?
bukankah kita punya janji
pada mereka sang pejuang bangsa
yang telah mengorbankan darahnya untuk negeri ini?
mencerdaskan kehidupan bangsa
itulah janji kemerdekaan buat anak bangsa

Sang Anak Desa Seberang


05.30 pagi
“Bapak, Mama, Andi sekolah dulu” sebelum pergi ke sekolah Andi tak pernah lupa pamit dan mencium tangan kedua orang tuanya, dan dia pun bergegas pergi ke dermaga agar tidak ketinggalan ketinting.
Pergi sekolah di saat matahari belum menampakkan sedikit senyumannya dan disaat anak-anak daerah lain yang jarak rumah ke sekolah sangat dekat masih tertidur lelap, sudah menjadi kebiasaan anak-anak Kanduangan, Kabupaten Nunukan. Bukan hanya anak sekolah, para pekerja yang bekerja di Nunukan pun harus pergi pagi-pagi agar tidak terlambat.
Menyeberangi lautan dan melewati pulau-pulau berpenghuni maupun tak berpenghuni adalah makanan sehari-hari mereka. Tak ada rasa mabuk dan takut. Malahan itu adalah hal yang menyenangkan bagi mereka. Menikmati hembusan angin subuh yang dingin menusuk kulit.
Akhirnya Andi dan kawan-kawanya serta para warga lain tiba di dermaga Nunukan. Perjalanan belum selesai, mereka harus naik angkutan umum untuk sampai di tempat yang dituju, baik sekolah maupun kantor. Karena jarak yang sangat jauh, jadi sangat melelahkan jika ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, berjalan kaki ke tempat tujuan mereka sudah menjadi hal yang biasa jika tidak ada kendaraan
Setiba di sekolah…
“Auw matilah kau Ndi, nanti razia dan rambutmu tuh janganlah kau berdirikan” Kata Josh tiba-tiba menegur Andi.
“Kau ni josh, baru juga ku datang sudah kau takut-takuti. Kau taulah rambutku ni berdiri karena diterpa angin laut bah..” kata Andi membela.
“Ah botek aja kau tuh” kata josh.
Loceng pun berbunyi, namun para murid masih banyak yang santai. Padahal hari ini adalah hari senin dan jadwalnya upacara bendera.
“1…….2……..3…….4…..” kata pak Anto dengan nada marah dengan menggunakan toak.
Ya, di sekolah ini kalau guru mau bicara harus pakai toak agar suaranya kedengaran.
“Teman-teman, pak Anto ngamuk… cepat baris!!” kata Ezra dengan nada sedikit ketakutan.
“PAAKKK……..PAAKKKKKK” suara pukulan rotan ke punggung murid-murid pun terdengar. Ada sebagian murid yang meronta kesakitan dan ada pula yang menangis.
Sudah hal biasa bagi menerima pukulan rotan jika tak menjadi murid yang tertib.
Upacara berjalan dengan tertib karena tak ada sedikitpun murid yang ribut atau kurang tertib dalam upacara. Karena jika mereka tidak tertib, rotan bisa saja melayang pada punggung mereka. Para murid pun segera ke kelas mereka masing-masing.
Seorang guru tiba-tiba masuk ke kelas Andi, kelas VII C. Bukan guru bidang studi, melainkan guru yang bertugas di bagian kesiswaan. Dia adalah Pak Anto. Guru yang paling ditakuti di sekolah. Jaman sekarang aturan kekerasan dalam mengajar tidaklah diperkenankan lagi, namun tidak berlaku pada guru ini. Katanya “tanpa kekerasan murid tidak akan tertib, yang penting tulang mereka tidak patah”.
“Alamak..kenapa pula ada razia segala ni, mana ku enggak pakai ikat pinggang lagi” kata Ezra dengan kesal.
“Pakai tali rafia saja Zra, buruan cari talinya” saran Josh dengan nada mengejek.
"Hhahahahahaha” tawa Andi, Josh, dan Ezra bersamaan.
“Yahh…ngolok saja terus” kata Ezra.
Tiba-tiba Pak Anto mendatangi mereka.
“Ini kenapa pada ngobrol, Andi kenapa kamu model-modelin rambutmu?” tanya Pak Anto.
“Enggak saya modelin Pak, memang sudah kayak gini modelnya” bela Andi.
“Ah bapak ini, kayak enggak tahu saja, Andi kan anak pulau seberang yang selalu diterpa angin laut” kata Ezra sedikit mengejek.
“Kau ini bah…” kata Andi sambil memukul punggung Ezra dengan pelan.
“Eh kau Zra, mana ikat pinggangmu?” tanya Pak Anto dengan nada tinggi setinggi puncak Jayawijaya.
“Eh…itu pak..anu….eeehhh…”kata Ezra terbata-bata.
Ezra dan beberapa teman-temannya yang lain pun dibawa ke kantor karena tidak menggunakan atribut yang lengkap.
“Rifky kemana ya, sudah seminggu enggak sekolah?” tanya Vitara.
“Tau ah gelap” jawab Josh.
“Iiihhh….reseknya… kalau gelap ya nyalain lampu, om Josh..” kata Vitara dengan kesal. “Ndi, dia kan satu pulau dengan kau” lanjutnya.
“Kalian tahu kan, dua minggu yang lalu ayahnya meninggal?” tanya Andi.
“Ya, tahu” jawab Vitara dan Josh.
“Nahh… dia bilang sih mau berhenti sekolah karena dia sekarang harus jadi tulang punggung keluarganya, dia bekerja untuk membiayai adik-adiknya” lanjut Andi.
“Sayang banget, dia kan anak yang pintar” kata Josh.
“Iya, lagian kan enggak boleh bekerja dibawa umur” kata Vitara.
“Mau gimana lagi, semua keluarganya sekkek, tak ada yang mau membantunya” kata Andi.
“Tapi kan sekarang sekolah gratis bro” kata Josh.
“Gratis sih gratis, tapi buku mau beli pakai apa? Daun? Lagian kalian tahu kan, enggak beli buku bukan anak guru. Walaupun dia pintar, tapi kalau rata-rata guru mewajibkan membeli buku, yahh..sama saja. Dan dia juga bilang dia belajar sendiri saja dirumah lagian guru kita juga jarang masuk dan memang benar sih kita lebih sering pelajaran kosong. Dan juga sekolah ini kekurangan guru, banyak guru yang mengajar tidak pada bidangnya” kata Andi. “Bu Uma sih sudah bilang ke Rifky, untuk biaya pendidikan dan biaya adik-adiknya, beliau yang tanggung makanya Rifky disuruh tinggal di rumah Bu Uma saja, tapi Rifky enggak mau. Takut ngerepotin katanya” Lanjut Andi.
“Andaikan semua guru seperti Bu Uma, mengerti muridnya” kata Vitara penuh harap.
“Betul..” kata Josh setuju.
“Dan andaikan pemimpin kita ini adalah Anies Baswedan, pasti pendidikan akan lebih diperhatikan” lanjut Vitara.
“Kalau cuma satu Anies Baswedan yang ada di dunia ini, ya percuma saja Tara. Sebaiknya andaikan banyak Anies Baswedan di dunia ini, sejahteralah kita” kata Josh.
Akhirnya tiba juga di akhir pelajaran. Dan bel pulang pun berbunyi. Andi tak sabar ingin segera pulang, karena dia akan membantu ayahnya panen rumput laut.
“Ndi, bagi-bagi ya rumput lautnya” pinta Vitara.
“Sip!!” jawab Andi.
Mereka pun pulang ke rumah mereka masing-masing. Begitu juga dengan Andi, dia dan teman-teman yang sewilayah dengannya segera ke dermaga. Untuk pelabuhan penyeberangan antar pulau memang dipisahkan, ada yang khusus menyeberangi pulau kecil di sekitar Pulau Nunukan dan ada yang khusus ke pulau-pulau yang jauh. Jadi kalau hanya menyeberangi pulau-pulau sekitar, mereka menggunakan pelabuhan kecil. Dan kembalilah mereka mengarungi lautan.
Setiba di Kanduangan, Andi segera mengayuh sepedanya menuju rumah. Andi memang sengaja menitipkan sepedanya di rumah warga sekitar pelabuhan Kanduangan. Karena jarak pelabuhan ke rumah Andi lumayan jauh. Dan disana tidak ada mobil angkutan seperti di Nunukan, yang ada di sini adalah mobil dengan ukuran besar, tinggi, serta ban besar pula, karena jalanan masih sangat jelek dan penuh dengan bebatuan. Biaya pun juga sangat mahal, Rp 10.000,- per orang.
Setiba di rumah, Andi segera mengganti pakaian, shalat zuhur, dan makan siang. Lalu dia segera membantu ayahnya panen rumput laut. Mata pencaharian warga daerah kanduangan mayoritas adalah nelayan, petani kelapa sawit, dan petani rumput laut. Namun, jika cuaca tak bersahabat tidak jarang para nelayan dan petani rumput laut yang mengalami musibah di lautan. Konflik dengan Malaysia pun tidak jarang mereka hadapi jika mereka melewati memasuki daerah Malaysia.
Namun, suatu hari desa Andi dikagetkan oleh suatu kabar.
“Pak Rt…. Pak Rt…. Pak Irwan, anaknya, dan kawan-kawan lainnya tenggelam” Kata seorang warga dengan panik.
Warga-warga pun segera penuju pesisir untuk menolong warga yang tenggelam itu. Alhasil, mereka dapat diselamatkan. Namun tidak dengan Pak Irwan, beliau ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Sungguh malang nasib keluarganya. Anaknya pun, Ansar harus terpaksa berhenti sekolah. Dan lagi, dua teman Andi dari Desa Kanduangan harus berhenti sekolah. Mereka harus bekerja untuk membiayai keluarganya. Bekerja dibawa umur. Suatu kesedihan buat Andi karena hal itu. Mereka tidak lagi bersama-sama naik ketinting ke sekolah.
Beruntung jika Andi masih dapat bersekolah, kebanyakan anak-anak Desa Kandungan tidak bersekolah karena faktor biaya, jauhnya jarak ke sekolah, dan juga karena harus menjadi tulang punggung keluarga . Karena hal itulah, Andi tidak ingin menyia-nyiakan usaha orangtuanya yang membanting tulang mencari biaya untuk pendidikannya. Dia ingin menjadi seorang guru. Guru yang sebenar-benarnya guru. Guru yang tidak makan gaji buta. Guru yang bisa menjadi motivator yang baik buat muridnya. Tak perlu mengikuti Indonesia Mengajar, toh daerahnya sendiri masih sangat kekurangan guru. Andi juga ingin mendirikan sekolah dari SD, SMP, hingga SMA di desanya, agar anak-anak di desanya tidak perlu susah payah lagi menyeberangi laut untuk sekolah. Mencerdaskan kehidupan bangsa, itulah janji pada negeri. Semua anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Suatu saat, Andi akan menepati janji tersebut.
Karya : Royani Ruhui Rahayu
***